18.30

Si guna-guna

Oh aku lupa menanyakan agar kau menanyakan bagaimana aku mengingatmu diantara dua benang merah? Aah terlalu jauh, cukup tanyakan saja bagaimana aku ingatanku padamu di tengah matahari seubun-ubun, diantara semilir angin yang mati dipertigaan kota kecilmu. 

Bagaimana aku mengingat kemeja putihmu seperti satin. Yang berkibar bagai bendera ditiup angin. Kemeja itu, aku tahu tak polos seperti kesederhanaan yang kau suguhkan siang itu. Ada motif mungkin bunga atau apa ya?

Lalu rok selututmu, atau mungkin celana pendek, aah jangan-jangan  ingatanku sudah bercampur dengan perempuan-perempuan diseberang jalan sana, heuheuheu. Seingatku cukup gelap untuk mengimbangi kemeja putih satin terangmu. 

Dan rambutmu, yang kau kuncir kuda. Depannya poni kuda mu berombak ditiup angin seperti riak pantai air manis sebelum pasang ketika sore. Berayun ayun namun enggan jatuh. Heemn, kasihan sekali pantai yang bertetangga dengan pulau pisang itu, karena riak ombaknya sudah kau curi. 

Ooh aku lupa, harusnya cerita tentang bagaimana teduhnya matahari di matamu siang itu ada dibagian paling atas. Teristimewa. Karena cuma disana matahari bisa kembar dua. Dan hanya disana saja keteduhan bisa bersisian dengan garangnya sang surya. Seandainya saja cahaya tak bermula dari sana, tentu lebih cocok kita panggil rembulan, kau setuju saja kan ?

Aah kau pasti cuma diam, dan manggut manggit masygul. Lalu setelah kata terakhir, kau akan membacanya dari awal lagi, berulang ulang, lagi. Dan setelah setengah hafal, kau nyaris pasti belum bosan. Dan sepertinya bosan berada di daftar guna terakhirmu hari ini, benarkah? Heuheuheu

14.43

Negasimu

Kami adalah wujud dari rasa takutmu, yang menjelma dari tiap dosa-dosa usang yang berkarat di catatan. Kami radang dari semua bentuk baikmu, titik hitam dari titik putihmu, atau sebaliknya. Kami merajut tiap mimpi-mimpi kotormu,
menganyam bagiannya menjadi permadani qalammu, sebagai lapisan terinjak dari kebaikanmu. Termarginalkan kami dari kebajikanmu.

14.15

Ohh Jarak



Memungut sisa api asmaramu di telaga kalbu, adalah semangat membabu kasihku yg jengah.

Artimu rindu, seperti mengais panas di teriknya rembulan, sembari melukis pelangi di malam hari.

Butuh lebih dari sekedar sepi untuk menakhlukan kami.

Kami pernah sedekat itu, melebihi jarak telinga dg matamu, yg tak mesti kau lihat ujud, hingga senyummu teramat lekat pada apa yg kulihat, bahkan aromamu terlalu pekat pada udara yg ku cecap, juga tekstur jangatmu yg hangat.

14.13

Insomnia

Bukan kami tak mau tidur cepat,
tp hati ini tertautkan waktu yang sekarat
bukan pula kami enggan lelap,
cuma jiwa ini sudah terlalu lelah beristirahat
bukan kami suka terjaga,
bukannya kami lebih bosan terus menjaga
bukan, bukan dan bukan karena sebab
sebab ada yang tak punya karena
dan itu  . . .

14.08

Lalu Arti III

D mata uang kulihat matamu, trlukis semu penuh rindu
tiap hari kubawa selalu, hingga resah bila kulupa
dan demi itu pula, hampir seumur hidup kita terpisah
semua hal, kubayar dengan potret mu, dan hampir semua itu seharga kamu

dimatamu, kulihat mata uang, kulukis pilu, seputih salju

Medan, 1 Mar '13

14.03

Lalu arti II

Dan akhirnya disini, diujung jalan ini, ketika kau telah sendiri, karena telah datang masa untuk kau hadapi. Adalah ketika semua yang kau miliki, atau setidaknya yang kau rasa kaulah pemiliknya, ketika semua itu satu persatu memudar, atau tiba-tiba lenyap tak kembali. Ketika semua yang kau yakini selama ini, tiada lebih dari ilusi, dan ketika semua imanmu dipertanyakan lagi.

26 feb '13

13.59

Lalu arti

Dan diakhir hayat, seperti yang pernah kulihat, masih berupaya mencintai apa-apa yg biasa mereka sebut kesuksesan, dalam gelimang kemapanan, sebagai ganti perjuangan yang terlewatkan. Sungguh harga yang mahal, ketika nyawa meregang, kau masih berusaha untuk mencinta sesuatu dengan realitas semu. Beruntunglah orang-orang yang menderita,, yang hidupnya tidak lebih berharga dari perjuangan itu sendiri.

medan, 4 Feb '13

13.53

Izar II



Bagaimana mungkin engkau sanggup hai izrail, sedang sumpahku telah menjelajahi segenap arsy Nya. Kembali lah wahai makhluk suci, sampaikan salamku pada tuhanmu. Izrail berlalu dengan tanya sepenuh kalbu. Berlalu, mengadu pada sang prabu, bahwa jiwa hambaMu sudah di luar batas waktu. Melebihi ketetapan kalamMu di lauful Mahfuzh. Namun titahku tiada mempan bahkan pada sehelai rambutnya. Kemarilah wahai malaikatKu, biar Kubisikkan pada Mu sesuatu yang dengannya kau tak perlu ragu. Syahdan, izrail beranjak kembali ke bumi dengan wajah berseri. Wahai izrail, aku tak punya hak lagi untuk menginjak neraka ini. Kau datang dengan wajah yg dengannya aku telah jatuh cinta. Dengan pemilik wajah itu aku telah mengambil sumpah setia. Kekasihku menyaksikan, jikalau bukan dengan wajah itu tiada sesuatupun yang bisa menceraikanku dari tempat dia berlabuh. Rengkuh aku izar, dalam kecut senyummu aku pilukan rindu. Biar kukecup bibir itu, yang darinya pahit cinta terasa senggama.

08.19

Ikan Busukku



Lalu kau jajakan penitimu, seperti menjajakan ikan busuk d keranjangmu. Lalu kau singkapkan tabirmu, seperti kau mengibarkan kan sangsakamu. Lalu kau teriakkan amarahmu, seperti kau teriakkan kejengahanmu. Lalu berlalu, seperti ceritamu yang berlalu, lalu, kau berlalu. Lelahlukalulalu,,

Kau tuturkan nurani, lalu kami hargai. Lalu kau gadai yakin, kami hibahkan malu. Lalu lalu lalu, lalu sedekahkan lukamu. Betapa sungguh dermawanmu.

 Jakarta, 22 Juni '13 --------------------[19-08-21]-------------------------

17.37

Ilusionamaya

Dan di akhir hayat, seperti yang pernah kulihat
masih berupaya mencintai apa-apa yang biasa mereka sebut kesuksesan, dalam gelimang kemapanan.
sebagai ganti untuk perjuangan yang terlewatkan.

Sungguh harga yang mahal -

Ketika nyawa meregang, kau masih berusaha untuk mencintai sesuatu dengan realitas semu
beruntunglah orang-orang yang menderita, yang hidupnya tidak lebih berharga dari perjuangan itu sendiri.

Medan, 4 Februari 2013

17.33

Balada Janda Tua

Sayang, sampai jumpa di ujung jalan. Karena ini adalah persimpangan, dan karena hutangku belum terlunaskan...


Engkau, berjalan - menagih timbangan pada tuan tanah

Kita hanyalah budak, tak jauh beda dengan boneka salju yang kedinginan. Meja kecilmu masih digudang, hadiah ayahanda ketika engkau dilahirkan - sudah - lapuk dan terasingkan.

Seperti  kita, perlahan digilas zaman.

17.28

Kita sapa itu 'rumah'

Aku pernah memanggilmu rumah, ratusan hari yang lalu - dan ratusan lebih kemudian berlalu

Menyapamu huma, bak pondok kecil di atas bukit cadas.

Sesuatu tempat untuk kembali, tempat yang selalu mengambil hati untuk tak pergi.
Yang kita bangun dari ranting pinus tua, di dindingi anyaman bambu, kita atapi ijuk dan jerami.


B i a r k a n  d i a  t e t a p  b e r l a n t a i  b u m i ,  a g a r  t i a d a  l u p a  t e m p a t  k e m b a l i -

23.58

Roman Rindu

Bulan merah jambu turun didusunku
gerimis dipeluk badai,
menyapu pucuk rambutan - durian.

         A K U R I N D U ! ! ! ! ! !

Tapi tuhan menghendakimu,
menggantimu dengan batang pisang di bilikku.

23.55

Ketika Tuhan Berdiam

Tuhan tak biarkan hamba berdoa
karna tahu, tahu do'a berisi sumpah.

Tuhan tak bolehkan hamba meminta
karna mengerti, mengerti pinta meminta murka.

Tuhan tak izinkan hamba memohon
tiada mohon melainkan prahara.

tuhan tak memberi daya untuk berkata
karna tiada sanggup untuk tidak mengabulkannya.

23.50

Selikat Rusuk

Likat - likat  tulang belikat
selikatnya ikat, tak hendak mengikat.

Susuk - menyucuk tulang rusuk
selisih rusuk, sering menyucuk.

Likat - likat tulang belikat
seikat rusuk, mengamuk !!!

23.47

Dua Mata

Seperti sepi yang perlahan menghunus pedang

Dua mata siap membelah
dua mata mencabik benang percaya
    dua mata bahkan masih tak percaya
        bahwa mata hati sudah mendua

Dua mata, mata dua.
mata sudah tidak lagi dua.

Bukannya mata tinggal sebelah ?
ahh, sudah.