Sepucuk surat rasa,
Oi nak kanduang, kau teteskan sejumput merah.
luka . . kau teteskan disana.
sekuntum mawar merah,
ahh, aku lupa, mungkin juga putih dahulu
sebab tak mengapa uban menyertai merahnya
kau hantarkan diam-diam teman,
tepat di ujung malam.
ketika suka menyambut duka
oOo,, itu cerita lama.
beribu waktu dan berjuta hari mungkin terasa
Semenjak itu,
dikulit buku engkau menulis,
kenapa tak kumpulkan saja perkamen dahulu ???
kenapa kenapa, kenapa !
mitos itu seperti debu,
terbang dan menguap menjadi awan.
Kalau kau beruntung, angin tak mengusir ketiadaan.
Mungkin karena tutur kita berbeda.
Dalam nuansa semu,
engkau belum juga berhenti berkarya.
Bahkan ketika itu,
ya ketika itu, sepucuk lagi kau hantarkan
langsung di ujung hidung tak mancung menjunjung.
senyum semanis kelat,
atau kau lupa menulisnya sepahit tuba ?????
Mata pongah sesorot jengah.
Kau tahu (dan harus tahu diri),
itu bukan duka.
Sekali lagi mari berkabung,
Dalam muntahan kental sepahit lidah.
Juga untuk serapah tak bersisa.
Link Sahabat
Facebook Badge
Pengunjung
Behind The Scene
01.18
Facebook comments untuk blogger untuk mendapatkannya KLIK di sini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar